Judul/Title: Menentang Islam Politik
Penulis/Author: Muhammad Said Al-Asmawy
Penerbit/Publisher: Alifya
Edisi/Edition: 2004
Halaman/Pages: 170
Dimensi/Dimension: 22.5 x 15 x 0.5cm
Sampul/Cover: Paperback
Bahasa/Language: Indonesia
Harga/Price:
Call No.: 361.8/Asy/m/C.1
Status: Terjual/Sold
***
Merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah, bahwa dunia Islam mengalami keterbelakangan dan kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan jika dibandingkan dengan negara-negara Barat sekular. Di antara sejumlah solusi bagi kondisi akut ini, yang mengemuka di kalangan umat Islam adalah gerakan yang menyuarakan kembali penegakan kembali khilafah, yang telah dihapus oleh Musthafa Kemal Attaturk pada 3 Maret 1924. Bagi para pendukung gagasan ini, khilafah merupakan bentuk pemerintahan Islam yang terbukti mampu membawa umat Islam ke dalam kemajuan yang luar biasa, seperti ditunjukkan oleh empat khulafa rasyidun. Melalui khilafah mereka berasumsi bahwa penerapan syari'ah dapat ditegakkan, kesatuan umat (pan-Islamisme) dapat digalang, jihad dapat dilaksanakan. Pendek kata, dengan tegaknya pemerintahan Islam, segala bentuk korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral dan persoalan lain dapat diselesaikan. Namun, merealisasikan gagasan itu sungguh tidak semudah seperti membalikan tangan.
Dalam buku Menentang Islam Politik ini, al-Asymawy mengurai secara kritis asumsi-asumsi diatas, dan menunjukkan bahwa asumsi-asumsi itu hanyalah slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka. Ini terlihat dari upaya para pendukung gerakan itu hanya menggunakan label Islam tanpa memahami secara jernih konsep-konsep keagamaan yang dijadikan sebagai slogan. Akibatnya, Islam hanya menjadi tameng bagi waktak politis upaya-upaya tersebut.
Al-Asymawy menyebut gerakan semacam itu sebagai fundamentalisme aktivis politis, yang dibedakan dengan fundamentalisme autentik. Jika jenis fundamentalisme pertama lebih mengutamakan bunyi kata-kata nash daripada semangatnya, fundamentalisme jenis kedua cenderung bersifat rasional dan spiritual, dan lebih menekankan kondisi sosial munculnya nash ketimbang bunyi nash itu sendiri. Dengan kata lain, jika fundamentalisme aktivis politis bersifat ahistoris dan mengidealisasikan masa lalu, fundamentalisme autentik bersifat historis dan lebih menatap ke masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar